Untuk pertama kalinya,
aku dihukum berdiri di depan kelas. Ironisnya, hal tersebut terjadi pada saat aku
baru mulai bersekolah di sekolah yang baru. Sekarang, bagaimana tanggapan
teman-temanku yang baru ini. Apakah aku sudah dicap buruk oleh mereka atau
dicap anak nakal. Jawabannya yah mungkin saja demikian.
Tak cukup mengamati
ruang kelas ini, pandanganku pun merambah ke penghuninya. Seorang siswa yang
duduk di kanan terdepan kelihatan sedang menuliskan sesuatu, yang dibelakangnya
kelihatan sedang mengetuk-ngetuk bibir dengan pena yang sedang dipegannya. Ada
pula yang terkantuk-kantuk, bahkan ada pula yang sudah tertidur dengan
sekali-kali bangun ibarat lampu pijar yang kekurangan daya, sebentar-sebentar
redup sebentar-sebentar terang. Selebihnya semua keadaan siswa di kelas ini
sama, tegang. Pandanganku terhenti ke seorang gadis, teman sebangkuku yang
sudah ikut andil dihukum berdirinya aku didepan kelas. Tapi entah kenapa,
pandangannya kosong menatap ke luar jendela. Aku jadi penasaran kenapa dia bisa
seperti itu, apakah ada hal yang
dipikirkannya? Entahlah, aku tidak terlalu peduli. Karena dia sudah membuatku
dihukum berdiri di depan kelas seperti ini. Ku umpat-umpat dia dalam hati, tapi
hal tersebut tidak berlangsung lama karena bel tanda waktu istirahat telah
berbunyi. Pak Gentong pun mengakhiri pelajarannya dengan muka yang mesam-mesem.
“Ya nak-anak, kupcukup
pelajaran hari ini... Jangan lupa pekerjaan mahrumah yang bapak riberi tadi,
dikerjakan! Lusa pulkumpulkan di meja bapak...”
“Baik pak...” koor
seluruh siswa di ruang kelas tersebut, kecuali aku. Mau gimana lagi, aku kan
lagi dihukum didepan kelas jadi tidak memperhatikan pelajaran si Pak “Yetakye”
ini. “Ndre, lain kali jangan diulangi lagi ya...” pesan Pak Gentong sebelum
keluar kelas.
Baru saja punggung Pak
Gentong menghilang setelah keluar dari kelas, suasana kelas ini berubah
seketika. Aku yang baru saja kembali ke tempat dudukku segera dikerumuni
beberapa siswa-siswi yang ingin berkenalan lebih jauh. Aku hampir dibuat sesak
nafas oleh mereka. Seolah menyadari aku yangg sedikit kesulitan bernafas,
mereka lalu memberikan sedikit ruang kepadaku.
“Wah, berani betul kau
anak baru... Kita-kita aja tidak ada yang berani dengan Pak Gentong...” katanya
sambil menepuk-nepuk pundakku. Aku sedikit keheranan dengan perkataan dia. “Oh
iya sampai lupa, namaku Frans.. Nama kau Andre kan? Salam kenal ya..” kembali
ia menepuk-nepuk pundakku. “Salam kenal juga Frans” kataku sambil mengulurkan
tangan untuk mengajaknya jabat tangan. Sepertinya Frans ini ada keturunan
bataknya, soalnya gaya bicaranya itu agak-agak gimana gitu. Setelah si Frans,
banyak teman-teman lain yang juga berkenalan denganku, ada Boni, Ade, Bela, dan
masih banyak lagi, kecuali cewek yang duduk di samping tempat dudukku tadi.
Kebanyakan dari teman-teman baruku ini menanyakan bagaimana caranya biar bisa
berani sama Mr. Gentong, tapi hanya aku jawab dengan senyuman saja karena aku
tadi memang benar-benar tidak sengaja dan belum memahami karakter guru-guru
yang mengajar di sini. Jadi, aku sudah bertekad untuk mengadakan survey tentang
guru-guru terhitung mulai besok pagi sampai dengan selesai.
Lamunanku buyar ketika
Frans kembali menghampiriku untuk mengajak pergi ke kantin. “Oii Ndre, ke
kantin aja yuk... Kau harus mencicipi masakan di kantin Mbok Darmi...” ajak
Frans dengan wajah nyengirnya. “Boleh juga tuh... Ajak yang lain juga ya..”.
Hubungan pertemanan akan segera terjalin dengan baik apabila kita bersikap
ramah terhadap teman-teman baru kita. “Bela, ikutan ke kantin yuk..”. “Boleh
juga, ayuk..” jawab Bela. “Ndre, cuman Bela yang diajak? Aku nggak ya Ndre?”
kata Boni merajuk. Sedikit gambaran, si Boni ini memiliki perawakan tinggi,
agak gendut, rambut dipotong cepak, dan hobi sekali makan. “Hahaha, sorry
Bon... Iya deh aku ajak juga, aku traktir malah” sebuah ajakan traktir yang
akan kusesali nantinya. “Jadi Cuma Boni aja yang diajak dan ditraktir Ndre? Aku
nggak?” si Ade ikut-ikutan merajuk sambil menarik-narik bajuku, dalam hati aku
berkata “Memangnya aku ini Ibu kamu... Pake acara tarik-tarik baju segala”.
Tapi tak urung pula, si Ade juga aku ajak dan aku traktir. Bahkan bukan cuma
mereka berdua saja, Frans dan Bela juga merajuk minta ditraktir. Akhirnya aku
mentraktir empat orang sekaligus, aku pikir tidak apa-apa mentraktir
sekali-sekali, hitung-hitung amal. Jadilah kami berempat berjalan bersama
menuju kantin sekolah. Tentu saja tujuan dari kami cuma satu sesuai promosi
dari Frans, yaitu kantinnya Mbok Darmi.
*
“Boni! Kemarikan
menunya... Kau ini gimana sih? Harusnya Andre dulu yang lihat, dia kan yang
traktir... Kalau kau nanti saja...” kata si Frans sambil melotot ke arah Boni,
dipelototin seperti itu membuat Boni tersenyum kecut lalu tertunduk ke bawah,
Boni yang malang. “Nih, Ndre... Kau dulu yang pilih menunya...” Kata Frans
sambil menyodorkan menu kepadaku. “Wah, aku bingung nih... Aku ikut kamu aja ya
Frans... Sekalian samain aja semuanya” Kataku pada Frans, karena jujur melihat
menu itu serasa semuanya ingin ku pesan dan ku makan. Aku memang suka makan,
karena makan adalah tengahku Andre “makan” Kurniawan. Namun, anehnya badan ku
begini-begini aja, nggak kelihatan gemuk sedikitpun.
Jadi, akhirnya kamu semua sepakat memesan Bakso Tenis Spesial Enak Lezat Sedap dan Mantap. Aku tidak mengerti, kenapa nama bakso ini panjang sekali. Mungkinkah bakso ini sungguh enak sehingga Enak Lezat Sedap dan Mantap.
Jadi, akhirnya kamu semua sepakat memesan Bakso Tenis Spesial Enak Lezat Sedap dan Mantap. Aku tidak mengerti, kenapa nama bakso ini panjang sekali. Mungkinkah bakso ini sungguh enak sehingga Enak Lezat Sedap dan Mantap.
*
Bel pulang sekolah berbunyi... Akhirnya, waktu pulang pun tiba... Ini adalah hal yang paling ditunggu oleh para siswa-siswi sekolahan. Di kelas hanya tinggal aku sendiri yang masih membereskan peralatan sekolahku. “Namaku, Andita Fitriani... Salam kenal”. Eh, itu tadi suara siapa ya? Celingukan aku mencari sumber suara tersebut, sekilas aku lihat gadis yang duduk disebelahku baru saja keluar dari ruang kelas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar