Selamat Shubuh teman-teman....
Begitu lama Andra tidak memposting lagi ya...
Mohon maaf, karena Andra lagi sibuk
ngegames kuliah...
Untuk mengobati kerinduan kalian pada Andra, ini ada sebuah cerpen dari temen Andra yang bernama Nando... Cerpennya bagus, tapi .... Ah, yang penting bacalah sendiri ya...
note : Teruntuk Nando, kubalas kau nanti...
Sepasang mata memandang tajam kearah deretan-deretan kalimat dalam kertas hijau yang tersusun rapi menjadi sempurna untuk disebut buku. Bola matanya bergerak teratur menyapu dari kanan ke kiri, balik lagi ke kanan lalu ke kiri. Begitu seterusnya, rutinitas yang sama, dilakukannya hampir satu jam lamanya. Sesekali sudut bibirnya menyunggingkan senyum kecut. Sekecut hatinya yang terlalu lama menunggu.
Sore itu indah. Walau langit tidak memunculkan warna khasnya yang kuning keemasan, ada sedikit mendung bergelayut. Di taman kota itu, ada sepasang tempat duduk panjang terbuat dari rangka besi ditutup dengan cetakan semen di bawah rimbunnya tanaman bamboo yang berfungsi sebagai pelindung. Ada pohon beringin di tengah taman, ada juga sejenis pohon palem dan beberapa bunga khas daerah tropis seperti anggrek. Rumput hias tumbuh subur berdampingan dengan rumput liar, menyatu membentuk sebuah koloni bersamaan, yang pada akhirnya menghadirkan udara sejuk. Tidak peduli tanaman yang besar pohonnya, produktif atau enggak, bahkan rumput liar pun bersama-sama mempunyai fungsi yang saling berkaitan. Ya, fungsi menyejukkan dalam keindahan taman yang sederhana.
Di taman itu duduklah seorang gadis, bukan seorang gadis cantik layaknya bidadari yang terjatuh dari kahyangan atau gadis super seksi kembang kampus yang gayanya melebihi model iklan sabun. Bukan pula gadis gahol dengan baju tanpa lengan dan rok mini sejengkal di atas lutut. Bukan, gadis itu gadis biasa saja, cantik enggak, seksi juga enggak, bodinya lurus-lurus saja tanpa banyak benjolan dan atau sejenis lekukan indah gitar Spanyol. Ya, biasa aja. Senyuman pas-pasan, raut wajahnya pas-pasan juga. Tinggi standar, berat badannya juga standar, standar mahasiswa kurang terkenal di sekolahan. Tapi, ada yang membuatnya berbeda dan tampak sebagai perempuan cerdas. Setumpuk buku di samping tempat duduknya serta buku yang ketebalannya melebihi tebal kedua kedua bibirnya yang terkatup bisu. Dengan buku-buku yang dibacanya itu, inner beauty sang gadis terpancar semburat dari keseriusannya dalam membaca, walau sebenarnya inner beauty masih menjadi perdebatan kaum pria sendiri.
Apakah inner beauty atau kecantikan dari dalam itu? Beberapa pria mendalami menyebut kecantikan dalam adalah sesuatu yang cantik, menarik, di mana kecantikan tersebut merupakan pancaran dari dalam diri seseorang. Pancaran kuat inilah yang menyebabkan mengapa seseorang tampil begitu penuh mempesona.. Tetapi, banyak pria menyebutkan bahwa kecantikan dari dalam adalah kecantikan yang ada di balik pakaian wanita atau dan sejenis itulah pokoknya, bukan kecerdasan dan hati.
“Sudah lama disini, Say?” Tanya iman, pemuda kurus rambut gondrong dengan celana dasar hitam dengan wajah berantakan khas baru bangun tidur dan sebuah tas ransel udik tergelayut pasrah di pundaknya.
“Lumayan, hampir selesai nih buku yang aku baca sambil nunggu kamu.” Kata gadis itu sambil menguntai senyum kecut, melebihi kecut dari manga muda yang jatuh dari pohonnya.
“Maaf, aku telat,” kata Iman sambil duduk di samping gadis itu.
“Peni ngerti kok, Aa. Resiko punya pacar tukang Pelupa itu ya gini. Terkadang kalau telat bahkan lupa kalau kita janjian, alasannya selalu saja soal ketiduran. Nggak apa-apa kok, Peni ngertiian kamu” sahut Peni
Iman menghela napas panjang, “ kamu tahu apa bedanya taman ini sama kamu?” Tanya Iman sambil melirik Peni,kekasihnya.
“Apa?” Tanya Peni singkat.
“Kalau taman ini yang mampir kesini banyak. Say. Tapi kalau kamu yang mampir cuman aku” Iman sok pede dengan rayuan maut khas mbah dukun gombal itu.
“Ihh… so sweet !!! Lagi dong, Aa iman, gombalin aku! Gombalin aku, Aa!” kata Peni dengan muka yang aneh.
“Ehmmm… kamu tahu kenapa aku telat?” Tanya Iman lagi.
“kenapa, Aa?” Peni sok antusias.
“karena aku enggan bangun, Say. Soalnya tadi malam aku mimpiin kamu terus.’’ Sahut Iman senang.
“Ih…. So sweet Aa! Lagi dong, Aa! Gombalin aku! Gombalin aku!” pinta Peni sekali lagi.
“Kamu tahu siapa yang bikin lagu C-I-N-T-A?” Tanya Iman lagi.
“Tahu, Aa. D’bagindas ‘kan?” Peni memberikan jawaban kali ini.
“Iya, kalau C-I-N-T-A itu punya D’Bagindas, tapi kalau CINTAKU itu sepenuhnya punya kamu, Say”
Hening….
Lama sekali hening…..
Masih hening juga setelah tiga belas menit.
Peni diam membisu. Dia tidak merespon kalimat terakhir dari Iman kekasihnya. Iman juga celingukan nggak jelas, bingung dengan Peni yang tiba-tiba diam dan menekuk wajahnya semakin dalam.
“Kamu kenapa, Sayang? Mau aku nyanyiin lagu C-I-N-T-A kesukaanmu itu?” Iman mencoba merayu.
“enggak usah nyanyi, Aa. Aku sudah bosen dengan rayuanmu, baik lewat kata-kata maupun lagu. Aku jujur Aa nggak butuh itu. Aku udah terlanjur kecewa dengan Aa. Aa terlalu banyak lupa, Lupa dengan ulang tahunku , lupa dengan Aniversarry kita, lupa dengan momen bahagia kita.” Peni tiba-tiba nyerocos panjang lebar.
“tapi Say….” Iman mencoba membela.
“tapi apa?” Peni memotong pembicaraan. “berhenti panggil aku sayang. Aku pengen kita putus!!” Peni melanjutkan pembicaraannya sambil meninggalkan tempat mereka duduk berdua tadi.
Kata-kata Peni bagaikan petir di sore bolong. Iman tidak mampu berbuat banyak. Dia seakan tertempel oleh ribuan kilo semen basah di kursi tempatnya duduk. Tidak ada yang bisa dia perbuat.
“Iman?” sebuah tangan dengan lembut menyentuh bahu Iman.
Iman menoleh pelan. Andra, sahabatnya yang juga teman satu kelas itu tiba-tiba berdiri di belakangnya.
“Kamu kenapa, wahai sahabatku? Tadi aku melihat kamu berdua dengan Peni lalu Peni meninggalkanmu? Aku baru selesai mengikuti ekstrakurikuler basket, wahai sahabatku? Sahut Andra mencoba memulai pembicaraan
Iman masih terdiam, tidak mengubis apa yang ditanyakan oleh sahabatnya Andra.
“ya udah. Mari pulang, wahai sahabatku. Aku akan menghiburmu. Aku nggak bakal ninggalin kamu. Kamu tahu apa bedanya kita dan bus kota? Tidak perlu kau jawab , yang jelas kita ini tidak jauh berbeda dengan bus kota, sama-sama banyak yang naik banyak juga yang turun. Begitulah kita sebagai manusia. Sebagai pria, kita harus seikhlas bus kota. Ada yang naik kita terima, ada yang turun kita terima. Jika Allah sudah berkehendak, kun fa yakuun , maka dengan mudah semua akan menjadi dan terjadi pada kita umat-Nya.” Andra mencoba tersenyum.
“Ah! Kalau itu garingnya sudah semena-mena Ndra! Pulang sajalah kita! Tidak baik disini berdua! “ kata Iman sambil bediri dan mengambil tasnya.
“ Ya… ya…. Kita pulang saja lagian siapa mau berdua dengan kamu disini man. Aku bukan maho” sahut Andra sambil berjalan keluar taman.
Keduanya berjalan pulang berdampingan, sambil pegangan tangan.
-END-
By: Nando Pamandes Putra