Laman

Minggu, 10 Agustus 2014

Kupu-Kupu Merah : Chapter 2 - Namaku Andita Fitriani

Untuk pertama kalinya, aku dihukum berdiri di depan kelas. Ironisnya, hal tersebut terjadi pada saat aku baru mulai bersekolah di sekolah yang baru. Sekarang, bagaimana tanggapan teman-temanku yang baru ini. Apakah aku sudah dicap buruk oleh mereka atau dicap anak nakal. Jawabannya yah mungkin saja demikian.

Iseng-iseng aku mencoba memperhatikan isi ruang kelas ini sekaligus mencoba menghibur diri. Kuedarkan pandanganku ke setiap penjuru kelas. Setelahku perhatikan dengan seksama, kelas ini cukup indah, dengan kombinasi warna hijau dan biru, dan beberapa hiasan dinding yang terpajang. Di bagian belakang  ada sebuah peti yang cukup besar ukuran 1m x 50cm x 1m. Meja-meja terbuat dari bahan kayu sedangkan kursi dari bahan logam, mungkin dari besi kataku mengira-ngira. Yang paling mewah dari semua itu adalah meja guru, berbahan dasar kayu yang dilapisi kaca diatasnya, yang sebelumnya telah dilapisi sejenis alas hijau terlebih dahulu. Kursi guru ini adalah kursi putar-putar aku menyebutnya, karena kalau duduk di sana bisa berputar. 

Tak cukup mengamati ruang kelas ini, pandanganku pun merambah ke penghuninya. Seorang siswa yang duduk di kanan terdepan kelihatan sedang menuliskan sesuatu, yang dibelakangnya kelihatan sedang mengetuk-ngetuk bibir dengan pena yang sedang dipegannya. Ada pula yang terkantuk-kantuk, bahkan ada pula yang sudah tertidur dengan sekali-kali bangun ibarat lampu pijar yang kekurangan daya, sebentar-sebentar redup sebentar-sebentar terang. Selebihnya semua keadaan siswa di kelas ini sama, tegang. Pandanganku terhenti ke seorang gadis, teman sebangkuku yang sudah ikut andil dihukum berdirinya aku didepan kelas. Tapi entah kenapa, pandangannya kosong menatap ke luar jendela. Aku jadi penasaran kenapa dia bisa seperti  itu, apakah ada hal yang dipikirkannya? Entahlah, aku tidak terlalu peduli. Karena dia sudah membuatku dihukum berdiri di depan kelas seperti ini. Ku umpat-umpat dia dalam hati, tapi hal tersebut tidak berlangsung lama karena bel tanda waktu istirahat telah berbunyi. Pak Gentong pun mengakhiri pelajarannya dengan muka yang mesam-mesem.

“Ya nak-anak, kupcukup pelajaran hari ini... Jangan lupa pekerjaan mahrumah yang bapak riberi tadi, dikerjakan! Lusa pulkumpulkan di meja bapak...”
“Baik pak...” koor seluruh siswa di ruang kelas tersebut, kecuali aku. Mau gimana lagi, aku kan lagi dihukum didepan kelas jadi tidak memperhatikan pelajaran si Pak “Yetakye” ini. “Ndre, lain kali jangan diulangi lagi ya...” pesan Pak Gentong sebelum keluar kelas.
Baru saja punggung Pak Gentong menghilang setelah keluar dari kelas, suasana kelas ini berubah seketika. Aku yang baru saja kembali ke tempat dudukku segera dikerumuni beberapa siswa-siswi yang ingin berkenalan lebih jauh. Aku hampir dibuat sesak nafas oleh mereka. Seolah menyadari aku yangg sedikit kesulitan bernafas, mereka lalu memberikan sedikit ruang kepadaku.
“Wah, berani betul kau anak baru... Kita-kita aja tidak ada yang berani dengan Pak Gentong...” katanya sambil menepuk-nepuk pundakku. Aku sedikit keheranan dengan perkataan dia. “Oh iya sampai lupa, namaku Frans.. Nama kau Andre kan? Salam kenal ya..” kembali ia menepuk-nepuk pundakku. “Salam kenal juga Frans” kataku sambil mengulurkan tangan untuk mengajaknya jabat tangan. Sepertinya Frans ini ada keturunan bataknya, soalnya gaya bicaranya itu agak-agak gimana gitu. Setelah si Frans, banyak teman-teman lain yang juga berkenalan denganku, ada Boni, Ade, Bela, dan masih banyak lagi, kecuali cewek yang duduk di samping tempat dudukku tadi. Kebanyakan dari teman-teman baruku ini menanyakan bagaimana caranya biar bisa berani sama Mr. Gentong, tapi hanya aku jawab dengan senyuman saja karena aku tadi memang benar-benar tidak sengaja dan belum memahami karakter guru-guru yang mengajar di sini. Jadi, aku sudah bertekad untuk mengadakan survey tentang guru-guru terhitung mulai besok pagi sampai dengan selesai.

Lamunanku buyar ketika Frans kembali menghampiriku untuk mengajak pergi ke kantin. “Oii Ndre, ke kantin aja yuk... Kau harus mencicipi masakan di kantin Mbok Darmi...” ajak Frans dengan wajah nyengirnya. “Boleh juga tuh... Ajak yang lain juga ya..”. Hubungan pertemanan akan segera terjalin dengan baik apabila kita bersikap ramah terhadap teman-teman baru kita. “Bela, ikutan ke kantin yuk..”. “Boleh juga, ayuk..” jawab Bela. “Ndre, cuman Bela yang diajak? Aku nggak ya Ndre?” kata Boni merajuk. Sedikit gambaran, si Boni ini memiliki perawakan tinggi, agak gendut, rambut dipotong cepak, dan hobi sekali makan. “Hahaha, sorry Bon... Iya deh aku ajak juga, aku traktir malah” sebuah ajakan traktir yang akan kusesali nantinya. “Jadi Cuma Boni aja yang diajak dan ditraktir Ndre? Aku nggak?” si Ade ikut-ikutan merajuk sambil menarik-narik bajuku, dalam hati aku berkata “Memangnya aku ini Ibu kamu... Pake acara tarik-tarik baju segala”. Tapi tak urung pula, si Ade juga aku ajak dan aku traktir. Bahkan bukan cuma mereka berdua saja, Frans dan Bela juga merajuk minta ditraktir. Akhirnya aku mentraktir empat orang sekaligus, aku pikir tidak apa-apa mentraktir sekali-sekali, hitung-hitung amal. Jadilah kami berempat berjalan bersama menuju kantin sekolah. Tentu saja tujuan dari kami cuma satu sesuai promosi dari Frans, yaitu kantinnya Mbok Darmi.

*

“Boni! Kemarikan menunya... Kau ini gimana sih? Harusnya Andre dulu yang lihat, dia kan yang traktir... Kalau kau nanti saja...” kata si Frans sambil melotot ke arah Boni, dipelototin seperti itu membuat Boni tersenyum kecut lalu tertunduk ke bawah, Boni yang malang. “Nih, Ndre... Kau dulu yang pilih menunya...” Kata Frans sambil menyodorkan menu kepadaku. “Wah, aku bingung nih... Aku ikut kamu aja ya Frans... Sekalian samain aja semuanya” Kataku pada Frans, karena jujur melihat menu itu serasa semuanya ingin ku pesan dan ku makan. Aku memang suka makan, karena makan adalah tengahku Andre “makan” Kurniawan. Namun, anehnya badan ku begini-begini aja, nggak kelihatan gemuk sedikitpun.
Jadi, akhirnya kamu semua sepakat memesan Bakso Tenis Spesial Enak Lezat Sedap dan Mantap. Aku tidak mengerti, kenapa nama bakso ini panjang sekali. Mungkinkah bakso ini sungguh enak sehingga Enak Lezat Sedap dan Mantap.

“Yeeeeee, baksonya udah datang... :D” Kata Boni tiba-tiba. Aroma bakso yang satu ini sungguh menggiurkan. Tanpa dikomando kami semua segera menyantap bakso tersebut. Boni yang kelihatan sudah sangat kelaparan, mampu menghabiskan satu mangkok bakso dalam 3 menit, dan memohon-mohon kepadaku agar diperbolehkan menambah. Aku yang saat itu sedang sibuk dengan baksoku mengiyakannya saja. Hingga akhirnya, ketika kami semua selesai dengan bakso kami masing-masing, aku melihat 4 mangkok berada di depan Boni. Hoalah, Boni sudah menghabiskan 4 mangkok bakso, dan tekorlah aku. Uang jajanku tinggal separuh lagi berkat si Boni. “Terima Kasih ya Boni..” sindirku kepadanya. “sama-sama Ndre, baksonya enak banget lho.. Aku kenyang.. “ jawab Boni sekenanya. Aku, Frans dan yang lainnya hanya geleng-geleng kepala melihat si Boni.

*

Kringg...
Bel pulang sekolah berbunyi... Akhirnya, waktu pulang pun tiba... Ini adalah hal yang paling ditunggu oleh para siswa-siswi sekolahan. Di kelas hanya tinggal aku sendiri yang masih membereskan peralatan sekolahku. “Namaku, Andita Fitriani... Salam kenal”. Eh, itu tadi suara siapa ya? Celingukan aku mencari sumber suara tersebut, sekilas aku lihat gadis yang duduk disebelahku baru saja keluar dari ruang kelas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar